Sabtu, 30 April 2016

kontribusi sastra anak



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kontribusi Sastra Anak Dalam Bidang Nilai Personal Anak
Nilai personal adalah nilai yang ditumbuhkan dari diri seseorang. Nilai personal dalam terbagi atas 5 hal yaitu perkembangan emosional, perkembangan intelektual, perkembangan imajinasi, pertumbuhan rasa sosial, dan pertumbuhan rasa etis dan religius.[1] Nilai personal seseorang dapat ditentukan dari cara seseorang bersikap dan bertingkah laku. Nilai personal seseorang sangat penting dalam pergaulan sehari-hari karena nilai personal dapat menentukan baik atau tidaknya seseorang bergaul dalam masyarakat.
Penanaman nilai-nilai dapat dilakukan sejak anak masih belum dapat berbicara dan belum dapat membaca. Nyanyian-nyanyian yang biasa didendangkan seorang ibu untuk membujuk agar si buah hati segera tertidur atau sekedar untuk menyenangkan, pada hakikatnya juga bernilai kesastraan dan sekaligus mengandung nilai yang besar andilnya bagi perkembangan kejiwaan anak, misalnya nilai kasih sayang dan keindahan. Anak tidak dapat tumbuh secara wajar tanpa dukungan kasih sayang, dan kasih sayang itu, antara lain, dapat diekspresikan lewat nyanyian yang bernilai keindahan. Anak memiliki potensi keindahan, potensi yang bernilai seni dalam dirinya, baik dalam pengertian menikmati maupun berekspresi. Dalam hal ini si ibulah yang mula-mula berjasa menggali potensi itu, berjasa menanamkan dalam jiwa, menikmati adlam rasa dan indera, dan mengekspresikan dalam bentuk tingkah laku verbal dan non verbal.[2]

B.     Macam-macam Nilai Personal Dalam Sastra Anak dan Kontribusinya
1.        Pembagian Nilai Personal
a.      Perkembangan Emosional
1.    Pengertian Perkembangan Emosi Anak
Emosi berasal dari kata emetus atau emovere yang berarti mencerca, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Menurut Crow & Crow Yang dikutip oleh Sunarti, emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu.[3] Emosi merupakan perasaan atau gejala psikis yang bersifat subjectif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.
Emosi anak berbeda dengan emosi dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa karena adanya faktor maturasi dan belajar. Ciri khas emosi anak yang membuatnya berbeda dari emosi dewasa menurut Sunarti, yaitu :[4]
a.       Emosi yang kuat ; anak kecil bereaksi dengan intensitas yang sama baik terhadap situasi remeh maupun serius.
b.      Emosi sering kali tampak, anak sering kali memperlihatkan emosi mereka meningkat dan mereka menjumpai bahwa ledakan emosional sering kali mengakibatkan hukuman, mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang membangkitkan emosi. Kemudian mereka mengekang ledakan emosi mereka atau bereaksi dengan cara yang lebih dapat diterima.
c.       Emosi bersifat sementara, peralihan yang cepat pada anak-anak kecil dari tertawa kemudian menangis atau dari marah ke tersenyum, atau dari cemburu ke rasa sayang.
d.      Emosi adalah perasaan yang ada pada dalam diri kita dapat berupa perasaan yang kuat. Perasaan benci, takut, marah senang, cinta senang dan kesedihan. Macam-macam perasaan tersebut adalah gambaran dari emosi.
Karena emosi anak-anak dipusatkan pada dampak emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial anak-anak. Semua emosi, tidak hanya emosi yang menyenangkan, memainkan peran penting dalam kehidupan anak dan bahwa setiap macam emosi mempengaruhi cara penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan anak. Manfaat ataupun kerugian yang ditimbulkannya bagi penyesuaian pribadi dan sosial anak dapat bersifat fisik atau psikologis atau bahkan keduanya. Dampak yang paling penting dari emosi anak terhadap penyesuaian mereka: [5]
a.    Emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari adalah emosi seperti kemarahan dan ketakutan juga menambah rasa nikmat bagi kehidupan dengan memberikan suatu kegembiraan.
b.    Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan, emosi yang semakin kuat akan semakin mengguncangkan keseimbangan tubuh untuk persiapan bertindak. Jika persiapan ini ternyata tidak berguna, anak akan gelisah dan tidak tenang.
c.    Ketegangan emosi mengganggu keterampilan motorik, persiapan tubuh untuk bertindak ternyata menimbulkan gangguan pada keterampilan motorik sehingga anak menjadi canggung dan dapat menyebabkan timbulnya gangguan bicara seperti bicara yang tidak jelas dan menggagap.
d.   Emosi merupakan suatu bentuk komunikasi, melalui perubahan mimik wajah dan fisik yang menyertai emosi, anak-anak dapat mengkomunikasikan perasaan mereka kepada orang lain dan mengenal berbagai jenis perasaan orang lain.
e.    Emosi mengganggu aktivitas mental, karena kegiatan mental seperti konsentrasi, pengingatan, penalaran, dan lain-lain, sangat mudah dipengaruhi oleh emosi yang kuat, anak-anak menghasilkan prestasi dibawah kemampuan intelektual mereka apabila emosi mereka terganggu.
f.     Emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial, orang dewasa menilai anak dari cara anak mengekspresikan emosi dan emosi apa saja yang dominan. Perlakuan orang dewasa yang didasarkan atas penilaian tersebut merupakan dasar bagi anak untuk melakukan penilaian diri.
g.    Emosi mewarnai pandangan anak terhadap kehidupan, bagaimana anak-anak memandang peran mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia.
h.    Emosi mempengaruhi interaksi sosial, semua emosi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi sosial. Melalui emosi anak belajar cara mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial.
i.      Emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah, emosi yang menyenangkan akan mempercantik wajah anak-anak, sedangkan emosi yang tidak menyenangkan aka menyuramkan wajah dan menyebabkan anak-anak jadi kurang menarik. Karena umumnya orang tertarik atau tidak, tergantung pada ekspresi wajah, emosi memainkan peran penting bagi penerimaan sosial.
j.      Emosi mempengaruhi suasana psikologis, bai k dirumah, sekolah, tetangga ataupun pada kelompok bermain, emosi anak mempengaruhi suasana psikologis yang terjadi, demikian juga sebaliknya. Anak yang tempertantrum menjengkelkan dan mempermalu orang lain, sehingga mengubah suasana psikologis kepada kemarahan dan kebencian. Hal ini membuat anak merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan.
k.    Reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan, setiap ekspresi emosi yang memuaskan anak akan diulang-ulang, dan pada suatu saat yang tertentu akan berkembang menjadi kebiasaan. Dengan tubuhnya anak, jika mereka menjumpai reaksi social yang tidak menyenangkan, mereka akan mendapatkan kesukaan untuk mengubah kebiasaan.
Sukmadinata dalam bukunya Landasan Psikologi Proses Pendidikan memberikan definisi emosi sebagai perpaduan dari beberapa perasaan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi dan menimbulkan suatu gejolak suasana batin. Seperti halnya perasaan, emosi juga membentuk suatu kontinum, bergerak dari emosi positif hingga yang bersifat negatif.[6]
Sementara Crow & Crow yang dikutip oleh Sunarto & Hartono memberikan pengertian emosi sebagai pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik, dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa emosi adalah perasaan batin seseorang, baik berupa pergolakan pikiran, nafsu, keadaan mental dan fisik yang dapat muncul atau termanifestasi kedalam bentuk-bentuk atau gejala-gejala seperti takut, cemas, marah, murung, kesal, iri, cemburu, senang, kasih sayang, dan ingin tahu.[7]
b.    Perkembangan Emosional melalui Sastra Anak
Menginjak usia sekolah, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Oleh karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Oleh karena itu, orang-orang di sekitarnya bisa menjadi model bagi emosi anak. Besarnya pengaruh emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, cinta, kegembiraan, dan kebahagiaan menyebabkan timbulnya perasaan aman yang akan membantu anak-anak dalam menghadapi masalah mereka dengan rasa percaya diri dan rasa tenang.[8] Dalam jangka panjang, pembiasaan suasana ini akan berdampak pada terbentuknya emosi yang stabil pada anak.
Menurut Sroufe, dkk, pada usia sekolah ini anak mulai memiliki kemampuan menempatkan berbagai emosi dalam berbagai situasi. Ia tidak hanya mengerti apa yang sedang terjadi pada seseorang, tetapi ia juga mengerti apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Kemampuan ini dimilikinya karena ia telah mampu menempatkan berbagai emosi dalam berbagai situasi tersebut.[9]
Menurut Saphiro, emosi ini harus dikuasai untuk mekanisme kelangsungan hidup. Rasa takut akan melindunginya dari bahaya dan membuatnya berpikirtentang cara menghindari bahaya, begitu juga dengan emosi marah, gembira, sedih yang harus ditempatkan sesuai fungsi dan situasinya. Dengan asumsi ini, maka perkembangan emosi pada anak harus mendapat perhatian dalam proses pendidikannya. [10]
Bagaimana cerita dapat mengembangkan aspek emosi anak? Emosi yang menyenangkan pada anak dapat dibentuk melalui aktivitas bercerita. Suasana yang dibangun dalam cerita akan berpengaruh dalam pembantukan emosi. Cerita yang dominan berisi tentang rasa dendam dan sakit hati yang diceritakan terus menerus pada anak dapat membentuk emosi yang negatif, yaitu prasangka buruk yang berlebihan.
Begitu juga, cerita yang dominan berisi tentang kegagalan yang diceritakan terus menerus kepada anak juga dapat membentuk emosi yang negatif, yaitu rasa putus asa dan tidak percaya diri. Idealnya, sebuah cerita dapat membangun variasi emosi pada anak. Melalui cerita, ada kalanya anak senang atau gembira, ada kalanya sedih, ada kalanya terharu, ada kalanya marah, ada kalanya sukses, ada kalanya gagal, dan sebagainya. Semua emosi itu harus bisa dirasakan pada anak secara proporsional. Kemampuan anak untuk menempatkan berbagai emosi itu pada saat yang tepat menjadi salah satu keberhasilan perkembangan emosi anak.
Nurgiyantoro, menjelaskan, anak usia dini yang belum dapat berbicara, atau baru berada dalam tahap perkembangan bahasa satu kata atau kalimat dalam dua tiga kata, sudah ikut tertawa-tawa ketika diajak bernyanyi bersama sambil bertepuk tangan. Anak tampak menikmati lagu- lagu bersajak yang ritmis dan larut dalam kegembiraan. Hal itu dapat dipahami bahwa sastra lisan yang berwujud puisi-lagu tersebut dapat merangsang kegembiraan anak, merangsang emosi anak untuk bergembira, bahkan ketika anak masih berstatus bayi. Emosi gembira yang diperoleh anak tersebut penting karena hal itu juga akan merangsang kesadaran bahwa ia dicintai dan diperhatikan. Pertumbuhan kepribadian anak tidak akan berlangsung secara wajar tanpa cinta dan kasih sayangoleh orang disekelilingnya.[11]
Contoh:  Dalam contoh syair lagu anak berikut yang berjudul “Bunda piara” yang penulis ambil dari kutipan lagu anak Indonesia.[12]
Bila kuingat lelah
Ayah Bunda
Bunda piara piara akan daku
Sehingga aku besarlah
Waktuku kecil hidupku
Amatlah senang Senang
dipangku dipangku dipeluknya
Serta dicium dicium dimanjakan
Namanya kesayangan
Pada syair lagu tersebut, dapat dilihat bahwa lagu tersebut mengajarkan tentang kasih sayang orangtua kepada anaknya. Lewat lagu tersebut terjalinlah emosi si anak dengan kedua orangtuanya tentunya dengan diperdendangkan secara terus menerus melalui proses yang singkat maupun panjang.
c.    Perkembangan Intelektual
1.        Pengertian Intelektual
Intelek adalah kemampuan jiwa atau psikis yang relatif menetap dalam proses berpikir untuk membuat hubungan-hubungan tanggapan, serta kemampuan memahami, menganalisis, mensintesiskan, dan mengevaluasi. Intelektual berfungsi dalam pemben-tukan konsep yang dilakukan melalui pengindraan pengamatan, tanggapan, ingatan, dan berpikir.[13]
2.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Intelek
Peserta didik usia SD/MI senantiasa dihadapkan pada pelbagai pengalaman di dalam dan di luar rumah atau sekolah dalam kehidupan sehari-harinya. Anak-anak dengan usia dan tingkat perkembangan kognitif yang sama dan melihat objek yang sama, dapat memiliki persepsi yang berbeda tentang objek tersebut.
Ada beberapa faktor yang turut menentukan dan mempengaruhi perkembangan intelek (dalam hal ini pembentukan pengertian dan konsep) anak. Di antaranya adalah sebagai berikut.[14]
a.    Kondisi organ pengindraan sebagai saluran yang dilalui kesan indera dalam perjalanannya ke otak (kesadaran). Misalnya konsep benda yang ditangkap atau dipersepsi anak yang buta warna akan berbeda dengan yang punya penglihatan normal.
b.    Intelegensi atau tingkat kecerdasan mempengaruhi kemampuan anak untuk mengerti atau memahami sesuatu.
c.    Kesempatan belajar yang diperoleh anak.
d.   Tipe pengalaman yang didapat anak secara langsung akan berbeda jika anak mendapat pengalaman secara tidak langsung dari orang lain atau informasi dalam buku, film, dsb.
e.    Jenis kelamin, karena pembentukan konsep anak laki-laki atau perempuan sejak kecil telah dilatih dengan cara yang dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
f.     Kepribadian anak dalam memandang kehidupan dan menggunakan suatu kerangka acuan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan berdasarkan  pada penyesuaian diri dan cara pandang anak terhadap dirinya sendiri (konsep diri).
3.    Perkembangan Intelektual Melalui  Sastra Anak
Lewat cerita, anak tidak hanya memperoleh “kehebatan” kisah yang menyenangkan dan memuaskan hatinya. Cerita menampilkan urutan kejadian yang menampilkan yang mengandung logika pengaluran. Logika pengaluran memperlihatkan hubungan antar peristiwa yang di perani oleh tokoh baik protagonist maupun antagonis.[15]
Perkembangan intelektual adalah Hubungan yang dibangun dalam pengembangan alur pada umumnya berupa hubungan sebab akibat. Artinya, suatu peristiwa terjadi akibat atau mengakibatkan terjadinya peristiwa (-peristiwa) yang lain. Hal itu berarti secara langsung atau tidak langsung anak “mempelajari” hubungan yang terbangun itu, dan bahkan juga ikut mengkritisinya. Mungkin saja anak mempertanyakan alasan tindakan-tindakan tokoh, reaksi tokoh, menyesalkan tindakan tokoh, dan lain-lain yang lebih bernuansa “mengapa”-nya.
Pembelajaran seni yang antara lain bertujuan untuk menanam, memupuk, dan mengembangkan daya apresiasi sejak anak usia dini, juga diyakini berperan besar dalam menunjang perkembangan kemampuan diri. Penelitian tentang pembelajaran seni di Amerika anak-anak sekolah dasar yang diajari seni dalam tiga bidang tersebut lebih tinggi dari pada kemampuan anak yang tidak diajar seni. Hal itu disebabkan pembelajaran apresiasi terhadap seni menunjang peningkatan kreativitas, dan aspek kreativitas merupakan sesuatu yang esensial dalam pembelajaran bidang apapun.
Contoh: Pada syair lagu anak berikut yang berjudul “Bangu pagi” yang penulis ambil dari kutipan lagu anak Indonesia.[16]
Satu dua, Tiga empat, Lima Enam, Tujuh delapan
Siapa rajin kesekolah
Cari ilmu sampai dapat
Sungguh senang 
Amat senang
Bangun pagi pagi
Sungguh senang
Dalam syair lagu ini jelas terlihat, bahwa syair lagu ini secara tidak langsung mengajarkan sang anak berhitung, dengan membiasakan mendengarkan lagu tersebut kepada anak, maka sedikit demi sedikit intelektual sang anak akan terbangun dan tidak pula mengajarkan kepada anak menjadi anak yang disiplin yaitu pada bait lagu yang mengajarkan untuk selalu bangun pagi untuk berangkat ke sekolah.


g.    Perkembangan Imajinasi
Imajinasi secara umum, adalah kekuatan atau proses menghasilkan citra mental dan ide. Istilah ini secara teknis dipakai dalam psikologi sebagai proses membangun kembali persepsi dari suatu benda yang terlebih dahulu diberi persepsi pengertian. Sejak penggunaan istilah ini bertentangan dengan yang dipunyai bahasa biasa, beberapa psikolog lebih menyebut proses ini sebagai "menggambarkan" atau "gambaran" atau sebagai suatu reproduksi yang bertentangan dengan imajinasi "produktif" atau "konstruktif".
Imajinasi adalah sebuah kerja akal dalam mengembangkan suatu pemikiran yang lebih luas dari apa yang pernah dilihat, dengar, dan rasakan. Dengan imajinasi, manusia mengembangkan sesuatu dari kesederhanaan menjadi lebih bernilai dalam pikiran. Ia dapat mengembangkan sesuatu dari Ciptaan Tuhan dalam pikirannya. Dengan tujuan untuk mengembangkan suatu hal yang lebih bernilai dalam bentuk benda, atau sekedar pikiran yang terlintas dalam benak.[17]
Nurgiyantoro, menyebutkan bahwa berhadapan dengan sastra, baik itu yang berwujud suara maupun tulisan, sebenarnya kita lebih berurusan dengan masalah imajinasi, sesuatu yang abstrak yang berada di dalam jiwa, sedang secara fisik sebenarnya tidak terlalu berarti. Bagi anak usia dini yang belum dapat membaca dan hanya dapat memahami sastra lewat orang lain, cara penyampaiannya masih amat berpengaruh sebagaimana halnya orang dewasa mengapresiasi poetry reading atau deklamasi. Sastra yang notabene adalah karya yang mengandalkan kekuatan imajinasi menawarkan petualangan imajinasi yang luar biasa kepada anak.[18]
Jadi, imajinasi akan memancing tumbuh dan berkembangnya daya kreativitas. Imajinasi dalam pengertian ini jangan dipahami sebagai khayalan atau daya khayal saja, tetapi lebih menunjuk pada makna creative thingking, pemikiran yang kreatif, jadi ia bersifat produktif. Oleh karena itu, sejak dini potensi yang amat penting itu harus diberi saluran agar dapat berkembang secara wajar dan maksimal antara lain lewat penyediaan bacaan sastra.
Perkembangan imajinasi anak akan terstimulasi dengan video dan lagu sehingga akan tercipta daya imajinasi (creative thinking) yang akan berkorelasi dengan daya cipta ,dan daya kreativitas.
Contoh: Pada syair lagu “Ibu kita Kartini” karangan WR. Supratman.[19]
Ibu kita Kartini, putri sejati
Putri Indonesia, harum namanya
Ibu kita Kartini, pendekar bangsa
Pendekar kaumnya untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Sosok seorang pejuang seperti Ibu Kartini telah diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini, agar anak-anak mengerti bahwa tidak hanya pria yang menjadi pahlawan tetapi juga wanita bisa. Lagu ini menuntun anak-anak membayangkan bagaimana sosok seorang Kartini yang memperjuangkan hak asasi kaum wanita. Seorang putri bangsa Indonesia yang membuat perubahan untuk kaum wanita. Anak-anak mulai berimajinasi bagaimana sosok Ibu Kartini, bagaimana perilakunya, dan perjuangannya yang tidak pantang menyerah untuk perubahan kaum wanita yang dapat dijadikan panutan.
h.   Perkembangan Rasa Sosial
1.    Pengertian Perkembangan Sosial
Menurut Hurlock, Perkembangan Sosial berarti, perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (sozialized) memerlukan tiga proses. Diantaranya adalah belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan perkembangan sifat sosial.[20]
Sedangkan, menurut Ahmad Susanto, perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.[21]
Perkembangan sosial biasanya dimaksudkan sebagai perkembangan tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat di mana anak berada. Perkembangan sosial diperoleh dari kematangan dan kesempatan belajar dari berbagai respons lingkungan terhadap anak.dalam periode prasekolah, anak dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan berbagai orang dari berbagai tatanan, yaitu keluarga, sekolah, dan teman sebaya.
Menurut berbagai pendapat diatas, perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial yang merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Baik itu dalam tatanan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
2.    Tahapan Perkembangan Sosial Anak
Setiap anak mempunyai tahapan perkembangan dalam segala aspek perkembangannya, begitu pula pada bidang sosialnya. Perkembangan tersebut didasarkan pada tahapan usia dari masing-masing anak.
Charlotte Buhler seperti yang dikutip oleh Abu Ahmadi menjelaskan,tingkatan perkembangan sosial anak menjadi 4 (empat) tingkatan sebagai berikut, (a) Tingkatan pertama: Sejak dimulai umur 0;4/0;6 tahun, anak mulai mengadakan reaksi positif terhadap oarng lain, antara lain ia tertawa karena mendengar suara orang lain. (b) Tingkatan kedua: Adanya rasa bangga dan segan yang terpancar dalam gerakan dan mimiknya, jika anak tersebut dapat mengulangi yang lainnya. Contoh: Anak yang berebut benda atau mainan, jika menang dai akan kegirangan dalam gerak dan mimik. Tingkatan ini biasanya terjadi pada anak usia ±2 tahun ke atas. (c) Tingkatan ketiga: Jika anak telah  lebih dari umur ±2 tahun, mulai timbul perasaan simpati (rasa setuju) dan atau rasa antipati (rasa tidak setuju) kepada orang lain,baik yang sudah dikenalnya atau belum. (d) Tingkatan keempat: Pada masa akhir tahun ke dua, anak setelah menyadari akan pergaulannya dengan anggota keluarga, anak timbul keinginan untuk ikut campur dalam gerak dan lakunya. (e) Dan pada usia 4 tahun, anak makin senang bergaul dengan anak lain terutama teman yang usianya sebaya. Ia dapat bermain dengan anak lain berdua atau bertiga, tetapi bila lebih banyak anak lagi biasanya mereka akan bertengkar. (f) Kemudian, pada usia 5-6 tahun ketika memasuki usia sekolah, anak lebih mudah diajak bermain dalam suatu kelompok. Ia juga mulai memilih teman bermainnya,entah tetangga atau teman sebayanya yang dilakukan di luar rumah.[22]
Selain itu, terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak. Menurut Dini P. Daeng dalam Pujiana, yang dikutip oleh Singgih dan Yulia D. Gunarsa, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan social anak usia dini yaitu , (a) Adanya kesempatan untuk bergauk dengan orang-orang yang ada di sekitarnya dengan berbagai usia dan latar belakang. (b) Adanya minat dan motivasi untuk bergaul. Semakin banyak pengalaman yang meyenangkan yang diperoleh melalui pergaulan dan aktivitas sosialnya, minat dan motivasinya untuk bergaul semakin berkembang. (c) Adanya bimbingan dan pengajaran dari orang lain, yang biasanya menjadi “model” untuk anak. Walaupun kemampuan sosialisasi ini dapat pula berkembang melalui cara “coba-salah” (try and error), yang dialami oleh anak, melalui pengalaman bergaul, tetapi akan efektif dengan “meniru” perilaku orang lain dalam bergaul, tetapi akan lebih efektif bila ada bimbingan dan pengajaran yang secara sengaja diberikan oleh anak yang dapat dijadikan “model” bergaul yang baik untuk anak. (d) Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik yang dimiliki anak. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, anak tidak hanya dituntut untuk berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dipahami, tetapi juga dapat membicarakan topik yang yang dapat dimengerti dan menarik untuk orang lain yang menjadi lawan bicaranya.[23]
3.      Perkembangan Rasa Sosial melalui Sastra Anak
Anak-anak mengembangkan aktivitas sosialnya melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, dan teman bermainnya. Menurut Hurlock, perilaku sosial anak-anak dapat dikategorikan menjadi dua pola yaitu pola perilaku sosial dan tidak social. Perilaku sosial tersebut adalah meniru, persaingan, kerja sama, simpati, empati, dukungan social dari teman-temannya, dan berbagi. Perilaku tidak sosial tersebut adalah negativisme, agresif, perilaku berkuasa, memikirkan diri sendiri, mementingkan diri sendiri, merusak, dan pertentangan seks. Seiring dengan bertambahnya usia, kecenderungan terhadap pola-pola itu akan mengalami perubahan.[24]
Dalam kehidupan sosialnya, kemampuan sosialisasi anak akan selalu meningkat. Sroufe dkk, berpendapat bahwa seiring dengan meluasnya hubungan sosialnya, anak akan memiliki teman yang lebih banyak. Dengan teman yang banyak tersebut, anak mulai mengerti loyalitas dan pengertian, mulai mengerti bahwa teman bisa memberikan dukungan (support), mulai mengerti arti saling membantu dan berbagi, serta mulai mengerti adanya konflik dalam persahabatan dan adanya pendukung yang akan memperkuat persahabatan.[25]
Bagaimana cerita dapat mengembangkan aspek sosial anak? Cerita tidak mungkin dibangun hanya oleh satu tokoh. Munculnya berbagai tokoh dalam cerita mencerminkan kebersamaan dalam kehidupan sosial. Dalam cerita anak, tokoh-tokoh itu saling berkomunikasi dan bersosialisasi satu sama lain. Berbagai karakter dan berbagai reaksi yang muncul pada tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dipelajari oleh anak, apalagi sebuah cerita pasti mengandung pesan-pesan yang dalam.
Sebagai contoh, munculnya tokoh yang miskin dan penuh penderitaan akan memunculkan reaksi dari tokoh yang lain dalam bentuk pertolongan dan rasa simpati. Jika hal ini diulang-terus menerus dalam berbagai variasi cerita, maka anak akan belajar memunculkan empati sosial di dalam dirinya. Bukan hanya empati sosial, melalui cerita anak juga dapat belajar bekerja sama dengan teman-temannya, belajar percaya pada orang-orang di sekitarnya, mampu berkomunikasi dengan baik dengan orang lain, dan sebagainya. Banyak aspek sosial lain yang bisa ditanamkan kepada anak melalui cerita.
i.        Perkembangan Rasa Etis dan Religius
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).[26] Religi /réligi/ : kepercayaan akan adanya Tuhan. religius /réligius/ taat pd agama; saleh.[27]
Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mangun Wijaya: Pada awalnya segala sastra adalah religius. Istilah “religius” yang berkonotasi pada makna agama. Religius dan agama memang berkaitan erat, bahkan dapat melebur dalam suatu kesatuan, namun sebenarnya keduanya mempunyai makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religius, di pihak lain, melihat aspek yang ada di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi manusia. Dengan demikian religius bersifat lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, resmi.[28]
Dapat disimpulkan, pertumbuhan rasa etis dan religius adalah terbentuknya sikap atau tingkah laku manusia dengan sudut pandang yang baik, baik kepada sesama manusia ataupun kepada Tuhannya.
Nurgiyantoro menjelaskan selain menunjang pertumbuhan dan perkembangan unsur emosional, intelektual, imajinasi, dan rasa sosial, bacaan cerita sastra juga berperan dalam pengembangan aspek personalitas yang lain, yaitu rasa etis dan religius.[29] Demonstrasi kehidupan yang secara konkret diwujudkan dalam bentuk tingkah laku tokoh, di dalamnya juga terkandung tingkah laku yang menunjukkan sikap etis dan religius. Dalam sebuah cerita keseluruh aspek personalitas manusia ditampilkan, hanya masalahnya aspek mana yang mendapat penekanan sehingga tampak dominan. Dalam cerita yang dimaksudkan untuk menunjang perkembangan perasaan dan sikap etis dan religius, kedua aspek tersebut terlihat dominan. Bahkan dalam cerita anak, mengingat masih terbatasnya jangkauan berpikir dan bernalar, penyampaian nilai-nilai pembentukan kepribadian tersebut terlihat langsung atau sedikitterselubung dalam karakter dan tingkah laku tokoh.
Nilai-nilai sosial, moral, etika, dan religius perlu ditanamkan kepada anak sejak dini secara efektif lewat sikap dan perilaku hidup keseharian. Hal itu tidak saja dapat dicontohkan oleh dewasa di sekeliling anak, melainkan juga lewat bacaan cerita sastra yang juga menampilkan sikap dan perilaku tokoh. Contoh sikap dan perilaku tokoh cerita yang diberikan kepada anak, lewat cerita ibu (pencerita) atau membaca sendiri jika sudah bisa, dapat dipandang sebagai salah satu cara penanaman nilai-nilai tersebut kepada anak. Pada umunya anak akan mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang baik itu, dan itu berarti tumbuhnya kesadaran untuk meneladani sikap dan perilaku tokoh tersebut.
Contoh:
Penulis ambil dari potongan lagu Yā nabī salam ‘alaika yang artinya Ya nabi, salam untukmu, berikut ini potongan syair lagu tersebut:
يَا نَبِيْ سَلاَمْ عَلَيْك // Yā nabi salām ‘alaika // Ya nabi salam untukmu
يَا رَسُلْ سَلاَمْ عَلَيْكَ ± // Yā rasul salām ‘alaika// Ya rasul kedamaian untukmu
Kedua baris syair lagu tersebut jelas menanamkan kepada anak pentingnya sering mengucap alawat keatas nabi. Dengan seringnya lagu ini didendangkan maka rasa religius sang anak akan tumbuh. Dan dengan ajaran dari guru, sang anak juga mengenal sosok rasulnya yang berhati mulia dan memiliki rasa etis dan sosial yang tinggi.



[1] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak : Pengantar Pemahaman Dunia Anak, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 37.
[2] Ibid., hal 35 – 36.
[3] Kustiah Sunarti, Psikologi Perkembangan, (Malang : FIP UNM, 2001), hal.1.
[4] Ibid., hal. 11.
[5] E. B. Hurlock, Perkembangan anak jilid 1 (Terjemahan Meitasari Tjandrasari & Muslichah Zarkasih), (Jakarta: Erlangga, 1998), hal. 210.
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 80.
[7] Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2002), hal.149.
[8] E. B. Hurlock, Perkembangan anak…, hal. 229.
[9] L. A. Sroufe, dkk, Child development its nature and course, (New York: McGraw Hill, 1996), hal. 476.
[10] L. E. Saphiro,  Mengajarkan Emotional intelligence pada anak, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 11.
[11] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak…,  hal. 37.
[12] http://id.wikibooks.org/wiki/Lirik_Lagu-lagu_Anak_Indonesia diakses pada 19 Maret 20016 pukul 23.03
[13] Ingridwati Kurnnia, Perkembangan Belajar Peserta Didik, (Jakarta : Dikjen Dikti Depdiknas, 2007), hal. 3
[14] Ibid., hal. 8.
[15] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak…, hal. 41
[16] http://id.wikibooks.org/wiki/Lirik_Lagu-lagu_Anak_Indonesia diakses pada 19 Maret 20016 pukul 23.30
[17] http://id.wikipedia.org/wiki/Imajinasi diakses pada tanggal 19Maret 2016 pukul 23.37.
[18] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak…, hal. 39-40.
[19] http://id.wikibooks.org/wiki/Lirik_Lagu-lagu_Anak_Indonesia diakses pada 19 Maret 20016 pukul 23.43
[20] E. B. Hurlock, Perkembangan anak…, hal. 250.
[21] Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini :Pengantar dalam Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 40
[22]Abu Ahmadi.Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2005), 102-
103
[23] Singgih Gunarsa.Yulia D.Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia , 2003), 96
[24] E. B. Hurlock, Perkembangan anak…, hal. 81.
[25] L. A. Sroufe, dkk, Child development…, hal. 461 – 465.
[26] http://id.wikipedia.org/wiki/Etika  diakses pada tanggal 19 Maret 2016 pukul 23.50.
[27] Kamus-Besar-Bahasa-Indonesia.pdf
[28] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak…,  hal. 326 – 327.
[29] Ibid., hal. 41.

2 komentar: