BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kontribusi Sastra Anak Dalam Bidang Nilai Personal Anak
Nilai
personal adalah nilai yang ditumbuhkan dari diri seseorang. Nilai personal
dalam terbagi atas 5 hal yaitu perkembangan emosional, perkembangan
intelektual, perkembangan imajinasi, pertumbuhan rasa sosial, dan pertumbuhan
rasa etis dan religius.[1]
Nilai personal seseorang dapat ditentukan dari cara seseorang bersikap dan
bertingkah laku. Nilai personal seseorang sangat penting dalam pergaulan
sehari-hari karena nilai personal dapat menentukan baik atau tidaknya seseorang
bergaul dalam masyarakat.
Penanaman
nilai-nilai dapat dilakukan sejak anak masih belum dapat berbicara dan belum
dapat membaca. Nyanyian-nyanyian yang biasa didendangkan seorang ibu untuk
membujuk agar si buah hati segera tertidur atau sekedar untuk menyenangkan,
pada hakikatnya juga bernilai kesastraan dan sekaligus mengandung nilai yang
besar andilnya bagi perkembangan kejiwaan anak, misalnya nilai kasih sayang dan
keindahan. Anak tidak dapat tumbuh secara wajar tanpa dukungan kasih sayang,
dan kasih sayang itu, antara lain, dapat diekspresikan lewat nyanyian yang
bernilai keindahan. Anak memiliki potensi keindahan, potensi yang bernilai seni
dalam dirinya, baik dalam pengertian menikmati maupun berekspresi. Dalam hal
ini si ibulah yang mula-mula berjasa menggali potensi itu, berjasa menanamkan
dalam jiwa, menikmati adlam rasa dan indera, dan mengekspresikan dalam bentuk
tingkah laku verbal dan non verbal.[2]
B.
Macam-macam
Nilai Personal Dalam Sastra Anak dan Kontribusinya
1.
Pembagian Nilai Personal
a.
Perkembangan Emosional
1.
Pengertian
Perkembangan Emosi Anak
Emosi berasal dari kata emetus atau emovere yang
berarti mencerca, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Menurut Crow
& Crow Yang dikutip oleh Sunarti, emosi merupakan suatu keadaan yang
bergejolak dalam diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner
adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan
individu.[3]
Emosi merupakan perasaan atau gejala psikis yang bersifat subjectif yang
umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas
senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.
Emosi anak berbeda dengan emosi dengan anak yang lebih tua atau
orang dewasa karena adanya faktor maturasi dan belajar. Ciri khas emosi anak
yang membuatnya berbeda dari emosi dewasa menurut Sunarti, yaitu :[4]
a. Emosi yang kuat ; anak kecil bereaksi dengan intensitas yang
sama baik terhadap situasi remeh maupun serius.
b. Emosi sering kali tampak, anak sering kali memperlihatkan emosi
mereka meningkat dan mereka menjumpai bahwa ledakan emosional sering kali
mengakibatkan hukuman, mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi
yang membangkitkan emosi. Kemudian mereka mengekang ledakan emosi mereka atau
bereaksi dengan cara yang lebih dapat diterima.
c. Emosi bersifat sementara, peralihan yang cepat pada anak-anak
kecil dari tertawa kemudian menangis atau dari marah ke tersenyum, atau dari
cemburu ke rasa sayang.
d.
Emosi adalah perasaan yang
ada pada dalam diri kita dapat berupa perasaan yang kuat. Perasaan benci,
takut, marah senang, cinta senang dan kesedihan. Macam-macam perasaan tersebut
adalah gambaran dari emosi.
Karena emosi anak-anak dipusatkan pada dampak emosi terhadap
penyesuaian pribadi dan sosial
anak-anak. Semua emosi, tidak hanya emosi
yang menyenangkan, memainkan peran penting dalam kehidupan anak dan bahwa setiap macam emosi mempengaruhi cara
penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan
anak. Manfaat ataupun kerugian yang ditimbulkannya bagi penyesuaian pribadi dan
sosial anak dapat bersifat fisik atau psikologis
atau bahkan keduanya. Dampak yang paling penting
dari emosi anak terhadap penyesuaian mereka: [5]
a. Emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari adalah
emosi seperti kemarahan dan ketakutan juga menambah rasa nikmat bagi kehidupan
dengan memberikan suatu kegembiraan.
b. Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan, emosi yang
semakin kuat akan semakin mengguncangkan keseimbangan tubuh untuk persiapan
bertindak. Jika persiapan ini ternyata tidak berguna, anak akan gelisah dan
tidak tenang.
c. Ketegangan emosi mengganggu keterampilan motorik, persiapan
tubuh untuk bertindak ternyata menimbulkan gangguan pada keterampilan motorik
sehingga anak menjadi canggung dan dapat menyebabkan timbulnya gangguan bicara
seperti bicara yang tidak jelas dan menggagap.
d. Emosi merupakan suatu bentuk komunikasi, melalui perubahan mimik
wajah dan fisik yang menyertai emosi, anak-anak dapat mengkomunikasikan
perasaan mereka kepada orang lain dan mengenal berbagai jenis perasaan orang
lain.
e. Emosi mengganggu aktivitas mental, karena kegiatan mental
seperti konsentrasi, pengingatan, penalaran, dan lain-lain, sangat mudah
dipengaruhi oleh emosi yang kuat, anak-anak menghasilkan prestasi dibawah
kemampuan intelektual mereka apabila emosi mereka terganggu.
f. Emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial, orang dewasa
menilai anak dari cara anak mengekspresikan emosi dan emosi apa saja yang
dominan. Perlakuan orang dewasa yang didasarkan atas penilaian tersebut
merupakan dasar bagi anak untuk melakukan penilaian diri.
g. Emosi mewarnai pandangan anak terhadap kehidupan, bagaimana
anak-anak memandang peran mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam
kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada mereka seperti malu,
takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia.
h. Emosi mempengaruhi interaksi sosial, semua emosi, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi sosial.
Melalui emosi anak belajar cara mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri
dengan tuntutan dan ukuran sosial.
i. Emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah, emosi yang
menyenangkan akan mempercantik wajah anak-anak, sedangkan emosi yang tidak
menyenangkan aka menyuramkan wajah dan menyebabkan anak-anak jadi kurang
menarik. Karena umumnya orang tertarik atau tidak, tergantung pada ekspresi
wajah, emosi memainkan peran penting bagi penerimaan sosial.
j. Emosi mempengaruhi suasana psikologis, bai k dirumah, sekolah,
tetangga ataupun pada kelompok bermain, emosi anak mempengaruhi suasana
psikologis yang terjadi, demikian juga sebaliknya. Anak yang tempertantrum
menjengkelkan dan mempermalu orang lain, sehingga mengubah suasana psikologis
kepada kemarahan dan kebencian. Hal ini membuat anak merasa tidak dicintai dan
tidak diinginkan.
k.
Reaksi emosional apabila
diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan, setiap ekspresi emosi yang
memuaskan anak akan diulang-ulang, dan pada suatu saat yang tertentu akan
berkembang menjadi kebiasaan. Dengan tubuhnya anak, jika mereka menjumpai
reaksi social yang tidak menyenangkan, mereka akan mendapatkan kesukaan untuk
mengubah kebiasaan.
Sukmadinata dalam bukunya Landasan
Psikologi Proses Pendidikan memberikan definisi emosi sebagai perpaduan
dari
beberapa perasaan yang mempunyai intensitas yang
relatif tinggi dan menimbulkan suatu gejolak suasana
batin. Seperti halnya perasaan, emosi juga membentuk suatu kontinum, bergerak
dari emosi positif hingga yang bersifat
negatif.[6]
Sementara Crow & Crow yang dikutip oleh Sunarto &
Hartono memberikan pengertian emosi sebagai pengalaman afektif yang disertai
penyesuaian diri dalam diri
individu tentang keadaan mental dan fisik, dan berwujud suatu tingkah laku yang
tampak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa emosi
adalah perasaan batin seseorang, baik berupa
pergolakan pikiran, nafsu, keadaan mental dan fisik yang dapat muncul atau
termanifestasi kedalam bentuk-bentuk atau
gejala-gejala seperti takut, cemas, marah, murung, kesal, iri, cemburu, senang, kasih sayang, dan ingin
tahu.[7]
b.
Perkembangan Emosional melalui Sastra
Anak
Menginjak usia sekolah, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan
emosi secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Oleh karena itu, dia mulai
belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan
mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Oleh
karena itu, orang-orang di sekitarnya bisa menjadi model bagi emosi anak.
Besarnya pengaruh emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, cinta,
kegembiraan, dan kebahagiaan menyebabkan timbulnya perasaan aman yang akan
membantu anak-anak dalam menghadapi masalah mereka dengan rasa percaya diri dan
rasa tenang.[8] Dalam jangka panjang,
pembiasaan suasana ini akan berdampak pada terbentuknya emosi yang stabil pada
anak.
Menurut Sroufe, dkk, pada usia sekolah ini anak mulai memiliki kemampuan
menempatkan berbagai emosi dalam berbagai situasi. Ia tidak hanya mengerti
apa yang sedang terjadi pada seseorang, tetapi ia juga mengerti apa yang
dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Kemampuan ini dimilikinya karena ia
telah mampu menempatkan berbagai emosi dalam berbagai situasi tersebut.[9]
Menurut
Saphiro, emosi ini harus dikuasai untuk mekanisme kelangsungan hidup. Rasa
takut akan melindunginya dari bahaya dan membuatnya berpikirtentang cara
menghindari bahaya, begitu juga dengan emosi marah, gembira, sedih yang harus
ditempatkan sesuai fungsi dan situasinya. Dengan asumsi ini, maka perkembangan
emosi pada anak harus mendapat perhatian dalam proses pendidikannya. [10]
Bagaimana cerita dapat mengembangkan aspek emosi
anak?
Emosi yang menyenangkan pada anak dapat dibentuk
melalui aktivitas bercerita. Suasana yang dibangun dalam cerita akan
berpengaruh dalam pembantukan emosi. Cerita yang dominan berisi tentang rasa
dendam dan sakit hati yang diceritakan terus menerus pada anak dapat membentuk
emosi yang negatif, yaitu prasangka buruk yang berlebihan.
Begitu juga, cerita yang dominan berisi tentang kegagalan yang
diceritakan terus menerus kepada anak juga dapat membentuk emosi yang negatif,
yaitu rasa putus asa dan tidak percaya diri. Idealnya, sebuah cerita dapat
membangun variasi emosi pada anak. Melalui cerita, ada kalanya anak senang atau
gembira, ada kalanya sedih, ada kalanya terharu, ada kalanya marah, ada kalanya
sukses, ada kalanya gagal, dan sebagainya. Semua emosi itu harus bisa dirasakan
pada anak secara proporsional. Kemampuan anak untuk menempatkan berbagai emosi
itu pada saat yang tepat menjadi salah satu keberhasilan perkembangan emosi
anak.
Nurgiyantoro,
menjelaskan, anak usia dini yang belum dapat berbicara, atau baru berada dalam
tahap perkembangan bahasa satu kata atau kalimat dalam dua tiga kata, sudah
ikut tertawa-tawa ketika diajak bernyanyi bersama sambil bertepuk tangan. Anak
tampak menikmati lagu- lagu bersajak yang ritmis dan larut dalam kegembiraan.
Hal itu dapat dipahami bahwa sastra lisan yang berwujud puisi-lagu tersebut
dapat merangsang kegembiraan anak, merangsang emosi anak untuk bergembira,
bahkan ketika anak masih berstatus bayi. Emosi gembira yang diperoleh anak
tersebut penting karena hal itu juga akan merangsang kesadaran bahwa ia
dicintai dan diperhatikan. Pertumbuhan kepribadian anak tidak akan berlangsung
secara wajar tanpa cinta dan kasih sayangoleh orang disekelilingnya.[11]
Contoh:
Dalam contoh syair lagu anak berikut
yang berjudul “Bunda piara” yang
penulis ambil dari kutipan lagu anak Indonesia.[12]
Bila
kuingat lelah
Ayah
Bunda
Bunda
piara piara akan daku
Sehingga
aku besarlah
Waktuku
kecil hidupku
Amatlah
senang Senang
dipangku
dipangku dipeluknya
Serta
dicium dicium dimanjakan
Namanya
kesayangan
Pada
syair lagu tersebut, dapat dilihat bahwa lagu tersebut mengajarkan tentang
kasih sayang orangtua kepada anaknya. Lewat lagu tersebut terjalinlah emosi si
anak dengan kedua orangtuanya tentunya dengan diperdendangkan secara terus
menerus melalui proses yang singkat maupun panjang.
c.
Perkembangan
Intelektual
1.
Pengertian Intelektual
Intelek
adalah
kemampuan jiwa atau psikis yang relatif menetap dalam proses berpikir untuk
membuat hubungan-hubungan tanggapan, serta kemampuan memahami, menganalisis,
mensintesiskan, dan mengevaluasi. Intelektual berfungsi dalam pemben-tukan
konsep yang dilakukan melalui pengindraan pengamatan, tanggapan, ingatan, dan
berpikir.[13]
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Intelek
Peserta
didik usia SD/MI senantiasa dihadapkan pada pelbagai pengalaman di dalam dan di
luar rumah atau sekolah dalam kehidupan sehari-harinya. Anak-anak dengan usia
dan tingkat perkembangan kognitif yang sama dan melihat objek yang sama, dapat
memiliki persepsi yang berbeda tentang objek tersebut.
Ada
beberapa faktor yang turut menentukan dan mempengaruhi perkembangan intelek
(dalam hal ini pembentukan pengertian dan konsep) anak. Di antaranya adalah
sebagai berikut.[14]
a. Kondisi
organ pengindraan sebagai saluran yang dilalui kesan indera dalam perjalanannya
ke otak (kesadaran). Misalnya konsep benda yang ditangkap atau dipersepsi anak
yang buta warna akan berbeda dengan yang punya penglihatan normal.
b. Intelegensi
atau tingkat kecerdasan mempengaruhi kemampuan anak untuk mengerti atau
memahami sesuatu.
c. Kesempatan
belajar yang diperoleh anak.
d. Tipe
pengalaman yang didapat anak secara langsung akan berbeda jika anak mendapat
pengalaman secara tidak langsung dari orang lain atau informasi dalam buku,
film, dsb.
e. Jenis
kelamin, karena pembentukan konsep anak laki-laki atau perempuan sejak kecil
telah dilatih dengan cara yang dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
f. Kepribadian
anak dalam memandang kehidupan dan menggunakan suatu kerangka acuan
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan berdasarkan pada penyesuaian diri dan cara pandang anak
terhadap dirinya sendiri (konsep diri).
3.
Perkembangan Intelektual Melalui Sastra Anak
Lewat
cerita, anak tidak hanya memperoleh “kehebatan” kisah yang menyenangkan dan
memuaskan hatinya. Cerita menampilkan urutan kejadian yang menampilkan yang
mengandung logika pengaluran. Logika pengaluran memperlihatkan hubungan antar
peristiwa yang di perani oleh tokoh baik protagonist maupun antagonis.[15]
Perkembangan
intelektual adalah Hubungan yang dibangun dalam pengembangan alur pada umumnya
berupa hubungan sebab akibat. Artinya, suatu peristiwa terjadi akibat atau
mengakibatkan terjadinya peristiwa (-peristiwa) yang lain. Hal itu berarti
secara langsung atau tidak langsung anak “mempelajari” hubungan yang terbangun
itu, dan bahkan juga ikut mengkritisinya. Mungkin saja anak mempertanyakan
alasan tindakan-tindakan tokoh, reaksi tokoh, menyesalkan tindakan tokoh, dan
lain-lain yang lebih bernuansa “mengapa”-nya.
Pembelajaran
seni yang antara lain bertujuan untuk menanam, memupuk, dan mengembangkan daya
apresiasi sejak anak usia dini, juga diyakini berperan besar dalam menunjang
perkembangan kemampuan diri. Penelitian tentang pembelajaran seni di Amerika
anak-anak sekolah dasar yang diajari seni dalam tiga bidang tersebut lebih
tinggi dari pada kemampuan anak yang tidak diajar seni. Hal itu disebabkan
pembelajaran apresiasi terhadap seni menunjang peningkatan kreativitas, dan
aspek kreativitas merupakan sesuatu yang esensial dalam pembelajaran bidang
apapun.
Contoh:
Pada syair lagu anak berikut yang berjudul “Bangu
pagi” yang penulis ambil dari kutipan lagu anak Indonesia.[16]
Satu dua, Tiga empat, Lima Enam,
Tujuh delapan
Siapa rajin kesekolah
Cari ilmu sampai dapat
Sungguh senang
Amat senang
Bangun pagi pagi
Sungguh senang
Dalam
syair lagu ini jelas terlihat, bahwa syair lagu ini secara tidak langsung
mengajarkan sang anak berhitung, dengan membiasakan mendengarkan lagu tersebut
kepada anak, maka sedikit demi sedikit intelektual sang anak akan terbangun dan
tidak pula mengajarkan kepada anak menjadi anak yang disiplin yaitu pada bait
lagu yang mengajarkan untuk selalu bangun pagi untuk berangkat ke sekolah.
g.
Perkembangan
Imajinasi
Imajinasi
secara umum, adalah kekuatan atau proses menghasilkan citra mental dan ide.
Istilah ini secara teknis dipakai dalam psikologi sebagai proses membangun
kembali persepsi dari suatu benda yang terlebih dahulu diberi persepsi
pengertian. Sejak penggunaan istilah ini bertentangan dengan yang dipunyai
bahasa biasa, beberapa psikolog lebih menyebut proses ini sebagai
"menggambarkan" atau "gambaran" atau sebagai suatu
reproduksi yang bertentangan dengan imajinasi "produktif" atau "konstruktif".
Imajinasi
adalah sebuah kerja akal dalam mengembangkan suatu pemikiran yang lebih luas
dari apa yang pernah dilihat, dengar, dan rasakan. Dengan imajinasi, manusia
mengembangkan sesuatu dari kesederhanaan menjadi lebih bernilai dalam pikiran.
Ia dapat mengembangkan sesuatu dari Ciptaan Tuhan dalam pikirannya. Dengan
tujuan untuk mengembangkan suatu hal yang lebih bernilai dalam bentuk benda,
atau sekedar pikiran yang terlintas dalam benak.[17]
Nurgiyantoro,
menyebutkan bahwa berhadapan dengan sastra, baik itu yang berwujud suara maupun
tulisan, sebenarnya kita lebih berurusan dengan masalah imajinasi, sesuatu yang
abstrak yang berada di dalam jiwa, sedang secara fisik sebenarnya tidak terlalu
berarti. Bagi anak usia dini yang belum dapat membaca dan hanya dapat memahami
sastra lewat orang lain, cara penyampaiannya masih amat berpengaruh sebagaimana
halnya orang dewasa mengapresiasi poetry reading atau deklamasi. Sastra
yang notabene adalah karya yang mengandalkan kekuatan imajinasi
menawarkan petualangan imajinasi yang luar biasa kepada anak.[18]
Jadi, imajinasi akan memancing tumbuh dan berkembangnya daya
kreativitas. Imajinasi dalam pengertian ini jangan dipahami sebagai khayalan
atau daya khayal saja, tetapi lebih menunjuk pada makna creative thingking, pemikiran
yang kreatif, jadi ia bersifat produktif. Oleh karena itu, sejak dini potensi
yang amat penting itu harus diberi saluran agar dapat berkembang secara wajar
dan maksimal antara lain lewat penyediaan bacaan sastra.
Perkembangan imajinasi anak akan terstimulasi dengan video dan
lagu sehingga akan tercipta daya imajinasi (creative
thinking) yang akan berkorelasi dengan daya cipta ,dan daya kreativitas.
Contoh: Pada syair lagu “Ibu kita Kartini” karangan WR. Supratman.[19]
Ibu kita
Kartini, putri sejati
Putri
Indonesia, harum namanya
Ibu kita
Kartini, pendekar bangsa
Pendekar
kaumnya untuk merdeka
Wahai ibu
kita Kartini
Putri yang
mulia
Sungguh
besar cita-citanya
Bagi
Indonesia
Raden Ayu
Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Sosok seorang
pejuang seperti Ibu Kartini telah diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini,
agar anak-anak mengerti bahwa tidak hanya pria yang menjadi pahlawan tetapi
juga wanita bisa. Lagu ini menuntun anak-anak membayangkan bagaimana sosok
seorang Kartini yang memperjuangkan hak asasi kaum wanita. Seorang putri bangsa
Indonesia yang membuat perubahan untuk kaum wanita. Anak-anak
mulai berimajinasi bagaimana sosok Ibu Kartini, bagaimana perilakunya, dan
perjuangannya yang tidak pantang menyerah untuk perubahan kaum wanita yang
dapat dijadikan panutan.
h.
Perkembangan
Rasa Sosial
1.
Pengertian
Perkembangan Sosial
Menurut
Hurlock, Perkembangan Sosial berarti, perolehan kemampuan berperilaku yang
sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (sozialized)
memerlukan tiga proses. Diantaranya adalah belajar berperilaku yang dapat
diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan
perkembangan sifat sosial.[20]
Sedangkan,
menurut Ahmad Susanto, perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan
dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk
menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan
diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama.[21]
Perkembangan
sosial biasanya dimaksudkan sebagai perkembangan tingkah laku anak dalam
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat di mana
anak berada. Perkembangan sosial diperoleh dari kematangan dan kesempatan
belajar dari berbagai respons lingkungan terhadap anak.dalam periode prasekolah,
anak dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan berbagai orang dari berbagai
tatanan, yaitu keluarga, sekolah, dan teman sebaya.
Menurut
berbagai pendapat diatas, perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan
berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial yang merupakan pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial. Baik itu dalam tatanan keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
2. Tahapan Perkembangan Sosial Anak
Setiap
anak mempunyai tahapan perkembangan dalam segala aspek perkembangannya, begitu pula
pada bidang sosialnya. Perkembangan tersebut didasarkan pada tahapan usia dari
masing-masing anak.
Charlotte
Buhler seperti yang dikutip oleh Abu Ahmadi menjelaskan,tingkatan perkembangan
sosial anak menjadi 4 (empat) tingkatan sebagai berikut, (a) Tingkatan pertama:
Sejak dimulai umur 0;4/0;6 tahun, anak mulai mengadakan reaksi positif terhadap
oarng lain, antara lain ia tertawa karena mendengar suara orang lain. (b)
Tingkatan kedua: Adanya rasa bangga dan segan yang terpancar dalam gerakan dan
mimiknya, jika anak tersebut dapat mengulangi yang lainnya. Contoh: Anak yang
berebut benda atau mainan, jika menang dai akan kegirangan dalam gerak dan
mimik. Tingkatan ini biasanya terjadi pada anak usia ±2 tahun ke atas. (c)
Tingkatan ketiga: Jika anak telah lebih
dari umur ±2 tahun, mulai timbul perasaan simpati (rasa setuju) dan atau rasa
antipati (rasa tidak setuju) kepada orang lain,baik yang sudah dikenalnya atau
belum. (d) Tingkatan keempat: Pada masa akhir tahun ke dua, anak setelah
menyadari akan pergaulannya dengan anggota keluarga, anak timbul keinginan
untuk ikut campur dalam gerak dan lakunya. (e) Dan pada usia 4 tahun, anak
makin senang bergaul dengan anak lain terutama teman yang usianya sebaya. Ia
dapat bermain dengan anak lain berdua atau bertiga, tetapi bila lebih banyak
anak lagi biasanya mereka akan bertengkar. (f) Kemudian, pada usia 5-6 tahun
ketika memasuki usia sekolah, anak lebih mudah diajak bermain dalam suatu
kelompok. Ia juga mulai memilih teman bermainnya,entah tetangga atau teman sebayanya
yang dilakukan di luar rumah.[22]
Selain
itu, terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak.
Menurut Dini P. Daeng dalam Pujiana, yang dikutip oleh Singgih dan Yulia D.
Gunarsa, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan social anak usia
dini yaitu , (a) Adanya kesempatan untuk bergauk dengan orang-orang yang ada di
sekitarnya dengan berbagai usia dan latar belakang. (b) Adanya minat dan
motivasi untuk bergaul. Semakin banyak pengalaman yang meyenangkan yang diperoleh
melalui pergaulan dan aktivitas sosialnya, minat dan motivasinya untuk bergaul
semakin berkembang. (c) Adanya bimbingan dan pengajaran dari orang lain, yang
biasanya menjadi “model” untuk anak. Walaupun kemampuan sosialisasi ini dapat
pula berkembang melalui cara “coba-salah” (try and error), yang dialami
oleh anak, melalui pengalaman bergaul, tetapi akan efektif dengan “meniru”
perilaku orang lain dalam bergaul, tetapi akan lebih efektif bila ada bimbingan
dan pengajaran yang secara sengaja diberikan oleh anak yang dapat dijadikan
“model” bergaul yang baik untuk anak. (d) Adanya kemampuan berkomunikasi yang
baik yang dimiliki anak. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, anak tidak
hanya dituntut untuk berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dipahami, tetapi
juga dapat membicarakan topik yang yang dapat dimengerti dan menarik untuk
orang lain yang menjadi lawan bicaranya.[23]
3. Perkembangan
Rasa Sosial melalui Sastra Anak
Anak-anak mengembangkan aktivitas sosialnya melalui pergaulan atau
hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, dan teman bermainnya.
Menurut Hurlock, perilaku sosial anak-anak dapat dikategorikan menjadi dua pola
yaitu pola perilaku sosial dan tidak social. Perilaku sosial tersebut adalah
meniru, persaingan, kerja sama, simpati, empati, dukungan social dari
teman-temannya, dan berbagi. Perilaku tidak sosial tersebut adalah negativisme,
agresif, perilaku berkuasa, memikirkan diri sendiri, mementingkan diri sendiri,
merusak, dan pertentangan seks. Seiring dengan bertambahnya usia, kecenderungan
terhadap pola-pola itu akan mengalami perubahan.[24]
Dalam kehidupan sosialnya, kemampuan
sosialisasi anak akan selalu meningkat. Sroufe dkk, berpendapat bahwa seiring
dengan meluasnya hubungan sosialnya, anak akan memiliki teman yang lebih
banyak. Dengan teman yang banyak tersebut, anak mulai mengerti loyalitas dan
pengertian, mulai mengerti bahwa teman bisa memberikan dukungan (support),
mulai mengerti arti saling membantu dan berbagi, serta mulai mengerti adanya konflik
dalam persahabatan dan adanya pendukung yang akan memperkuat persahabatan.[25]
Bagaimana
cerita dapat mengembangkan aspek sosial anak? Cerita tidak mungkin dibangun hanya oleh satu tokoh. Munculnya
berbagai tokoh dalam cerita mencerminkan kebersamaan dalam kehidupan sosial.
Dalam cerita anak, tokoh-tokoh itu saling berkomunikasi dan bersosialisasi satu
sama lain. Berbagai karakter dan berbagai reaksi yang muncul
pada tokoh-tokoh cerita tersebut dapat dipelajari oleh anak, apalagi sebuah
cerita pasti mengandung pesan-pesan yang dalam.
Sebagai contoh, munculnya tokoh yang miskin dan
penuh penderitaan akan memunculkan reaksi dari tokoh yang lain dalam bentuk
pertolongan dan rasa simpati. Jika hal ini diulang-terus menerus dalam berbagai
variasi cerita, maka anak akan belajar memunculkan empati sosial di dalam
dirinya. Bukan hanya empati sosial, melalui cerita anak juga dapat belajar
bekerja sama dengan teman-temannya, belajar percaya pada orang-orang di
sekitarnya, mampu berkomunikasi dengan baik dengan orang lain, dan sebagainya.
Banyak aspek sosial lain yang bisa ditanamkan kepada anak melalui cerita.
i.
Perkembangan
Rasa Etis dan Religius
Etika
dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat
spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena
pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk
itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia.
Secara
metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan
refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek
dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu
lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang
normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan
manusia. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep
etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi
penggunaan nilai-nilai etika).[26] Religi
/réligi/ : kepercayaan akan adanya Tuhan. religius /réligius/ taat pd agama;
saleh.[27]
Kehadiran
unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu
sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Mangun Wijaya: Pada awalnya segala sastra adalah
religius. Istilah “religius” yang berkonotasi pada makna agama. Religius dan agama
memang berkaitan erat, bahkan dapat melebur dalam suatu kesatuan, namun
sebenarnya keduanya mempunyai makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada
kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religius, di
pihak lain, melihat aspek yang ada di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi
manusia. Dengan demikian religius bersifat lebih dalam, dan lebih luas dari
agama yang tampak, formal, resmi.[28]
Dapat
disimpulkan, pertumbuhan rasa etis dan religius adalah terbentuknya sikap atau
tingkah laku manusia dengan sudut pandang yang baik, baik kepada sesama manusia
ataupun kepada Tuhannya.
Nurgiyantoro
menjelaskan selain menunjang pertumbuhan dan perkembangan unsur emosional,
intelektual, imajinasi, dan rasa sosial, bacaan cerita sastra juga berperan
dalam pengembangan aspek personalitas yang lain, yaitu rasa etis dan religius.[29]
Demonstrasi kehidupan yang secara konkret diwujudkan dalam bentuk tingkah laku
tokoh, di dalamnya juga terkandung tingkah laku yang menunjukkan sikap etis dan
religius. Dalam sebuah cerita keseluruh aspek personalitas manusia ditampilkan,
hanya masalahnya aspek mana yang mendapat penekanan sehingga tampak dominan.
Dalam cerita yang dimaksudkan untuk menunjang perkembangan perasaan dan sikap
etis dan religius, kedua aspek tersebut terlihat dominan. Bahkan dalam cerita
anak, mengingat masih terbatasnya jangkauan berpikir dan bernalar, penyampaian
nilai-nilai pembentukan kepribadian tersebut terlihat langsung atau
sedikitterselubung dalam karakter dan tingkah laku tokoh.
Nilai-nilai
sosial, moral, etika, dan religius perlu ditanamkan kepada anak sejak dini
secara efektif lewat sikap dan perilaku hidup keseharian. Hal itu tidak saja
dapat dicontohkan oleh dewasa di sekeliling anak, melainkan juga lewat bacaan
cerita sastra yang juga menampilkan sikap dan perilaku tokoh. Contoh sikap dan
perilaku tokoh cerita yang diberikan kepada anak, lewat cerita ibu (pencerita)
atau membaca sendiri jika sudah bisa, dapat dipandang sebagai salah satu cara
penanaman nilai-nilai tersebut kepada anak. Pada umunya anak akan
mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang baik itu, dan itu berarti
tumbuhnya kesadaran untuk meneladani sikap dan perilaku tokoh tersebut.
Contoh:
Penulis
ambil dari potongan lagu Yā nabī salam ‘alaika yang artinya Ya nabi,
salam untukmu, berikut ini potongan syair lagu tersebut:
يَا نَبِيْ سَلاَمْ عَلَيْك //
Yā nabi salām ‘alaika // Ya nabi salam untukmu
يَا رَسُلْ سَلاَمْ عَلَيْكَ ±
// Yā rasul salām ‘alaika// Ya rasul kedamaian untukmu
Kedua
baris syair lagu tersebut jelas menanamkan kepada anak pentingnya sering
mengucap ṣalawat
keatas nabi. Dengan seringnya lagu ini didendangkan maka rasa religius sang
anak akan tumbuh. Dan dengan ajaran dari guru, sang anak juga mengenal sosok
rasulnya yang berhati mulia dan memiliki rasa etis dan sosial yang tinggi.
[1] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak : Pengantar Pemahaman Dunia Anak,
(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 37.
[2] Ibid., hal 35 – 36.
[3] Kustiah Sunarti, Psikologi Perkembangan, (Malang : FIP
UNM, 2001), hal.1.
[4] Ibid., hal. 11.
[5] E. B. Hurlock, Perkembangan
anak jilid 1 (Terjemahan Meitasari Tjandrasari & Muslichah Zarkasih),
(Jakarta: Erlangga, 1998), hal. 210.
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 80.
[7] Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta :
PT. Rineka Cipta, 2002), hal.149.
[8] E. B. Hurlock, Perkembangan anak…, hal. 229.
[9] L. A. Sroufe, dkk, Child development its nature and course,
(New York: McGraw Hill, 1996), hal. 476.
[10]
L. E. Saphiro, Mengajarkan
Emotional intelligence pada anak, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 11.
[11]
Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak…, hal. 37.
[12] http://id.wikibooks.org/wiki/Lirik_Lagu-lagu_Anak_Indonesia diakses pada 19 Maret 20016
pukul 23.03
[13] Ingridwati Kurnnia, Perkembangan Belajar Peserta Didik,
(Jakarta : Dikjen Dikti Depdiknas, 2007), hal. 3
[15] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak…, hal. 41
[16]
http://id.wikibooks.org/wiki/Lirik_Lagu-lagu_Anak_Indonesia diakses pada 19 Maret 20016
pukul 23.30
[18]
Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak…, hal. 39-40.
[19]
http://id.wikibooks.org/wiki/Lirik_Lagu-lagu_Anak_Indonesia diakses pada 19 Maret 20016
pukul 23.43
[20] E. B. Hurlock, Perkembangan anak…, hal. 250.
[21] Ahmad Susanto, Perkembangan
Anak Usia Dini :Pengantar dalam Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), 40
[22]Abu
Ahmadi.Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: PT.Rineka
Cipta, 2005), 102-
103
[23]
Singgih
Gunarsa.Yulia D.Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
(Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia , 2003), 96
[24]
E. B. Hurlock, Perkembangan anak…, hal. 81.
[25]
L. A. Sroufe, dkk, Child development…, hal. 461 – 465.
[27]
Kamus-Besar-Bahasa-Indonesia.pdf
[28]
Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak…, hal. 326 – 327.
terima kasih sudah menuliskan ke dalam blog anda...
BalasHapuspoint-pointya tidak berurutan :)
BalasHapus